BAB I
PENDAHULUAN
3.1 Latar Belakang Masalah
Ribuan orang setiap tahunnya mencoba dan berhasil untuk menghafal Al-Qur’an. Kitab suci umat islam ini merupakan satu-satunya kitab suci yang berhasil dihafal baik oleh kalangan umat muslim sendiri maupun oleh non-muslim. Banyak alasan yang mereka kemukakan mengenai ketertarikan untuk mempelajari dan menghafal Al-Qur’an. Namun yang jelas, kitab ini memang telah dijanjikan kemudahan dalam menghafalnya sebagaimana firman yang ada di dalam Al-Qur’an itu sendiri, “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”(Al-Qamar: 17).
Kemudahan yang dijanjikan dalam menghafal ini memang benar adanya, terbukti dari lahirnya sosok-sosok penghafal Al-Qur’an seperti Muhammad Idris Asy Syafi’i yang kemudian lebih dikenal sebagai Imam Syafi’i, beliau mampu mengkhatamkan hafalan Al-Qur’annya di usia sembilan tahun. Di Bangladesh seorang anak-anak telah hafal Al-qur’an pada usia sembilan tahun sebagaimana Imam Syafi’i. Sedangkan di Mesir dalam Musabaqah Tahfizh Al-Qur’an, didapati seorang anak yang telah lancar hafalan Al-Qur’annya berusia tujuh tahun. Selain itu ada seorang anak dari Iran bernama As Sayyid Muhammad Husain Ath Thababai, ia mengunjungi Qathar pada bulan Muharram tahun 1419 H ( Mei 1998 M) untuk menemui Yusuf Al-Qardhawiy agar diuji hafalannya. Pemahamannya terhadap Al-Qur’an mencengangkan dan membuat kagum semua orang yang menyaksikan prosesi pengujian hafalannya tersebut. Baru-baru ini juga didiketahui ada seorang anak berusia lima tahun dari Iran yang berhasil menghafal Al-qur’an beserta dengan posisi ayat, halaman, dan makna dari ayat yang dibacanya.
Selain itu kita juga sering mendapati non-muslim yang berusaha dengan serius untuk menghafal Al-Qur’an seperti yang diceritakan oleh Dr. Nazhmi Lukas (Qardhawiy, tth : 4), seorang sastrawan Koptik Mesir, tentang dirinya dalam launching bukunya yang terkenal “Muhammad : Risalah dan Rasul”. Ia menceritakan tentang bagaimana bapaknya mengirimkannya kepada seorang syeikh yang buta dan amat baik hafalan Al-Qur’annya di kota Suez. Bapaknya meminta syeikh tersebut untuk mengajarinya menghafal Al-Qur’an dan dasar-dasarnya. Pemimpin politik Koptik Mesir bernama Makram Ubeid juga menghafal Al-Qur’an dalam jumlah yang cukup banyak. Bahkan ia lincah dalam mengutip Al-Qur’an dalam pidato, artikel dan kata-katanya sehari-hari.
Melihat fenomena-fenomena di atas, tentu beberapa tahun ke depan akan lebih berkembangkan berbagai metode untuk menghafal Al-Qur’an yang lebih efektif. Anak-anak penghafal Al-Qur’an yang mampu mengukir sejarah ini menjadi inspirasi bagi berkembangnya metode-metode pembelajaran dan hafalan tersebut. Salah satu metode yang kemudian berkembang adalah metode Quantum Learning Islami.
Metode Quantum Learning awalnya diperkenalkan oleh Bobbi De Poter dan Mike Hernacki dalam karya mereka “Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan” dalam edisi Indonesia dengan judul asli “Quantum Learning: Unleashing The Genius In You”. Berawal dari program SuperCamp di musim panas 1982 dengan angkatan pertama yang diikuti oleh enam puluh delapan remaja, kemudian dikembangkanlah Metode Quantum Learning.
Quantum Learning (DePorter dan Hernacki, 1999:15-16) merupakan seperangkat metode dan falsafah belajar yang terbukti efektif untuk semua umur melalui interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Manfaat dari metode belajar Quantum Learning adalah mengembangkan sikap yang positif, memotivasi, mengembangkan keterampilan belajar seumur hidup, membangkitkan kepercayaan diri, dan meraih kesuksessan.
Quantum Learning berakar pula dari upaya Dr. Georgi Lozanov (DePorter dan Hernacki, 1999:14), seorang pendidik berkebangsaan Bulagria yang bereksperimen mengenai “suggestology” atau “suggestopedia”. Pada prinsipnya, sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil pembelajaran baik dari setiap detail sugesti positif maupun negatif. Metode Quantum Learning ini juga mencakup aspek-aspek penting dalam program neurolinguistik (NLP), yaitu suatu penelitian tentang bagaimana otak mengatur informasi.
Istilah Quantum Learning juga dikenal dalam psikologi islam. Namun dalam hal ini proses belajar secara quantum dimaknai lebih dari sekedar metode atau falsafah belajar yang efektif. Pembelajaran secara quantum seharusnya dapat membuat seseorang menerima, mencerna dan memahami informasi atau pengetahuan yang diinginkan tanpa belajar secara manual. Informasi atau pengetahuan didapatkan dari dunia eksternal melalui penajaman intuisi.
Metode belajar Quantum Learning Islami ini, jika diterapkan dalam proses menghafal Al-Qur’an tentu akan lebih terasa keefektifan dan manfaatnya. Dalam hal ini penulis ingin menggambarkan lebih mendalam mengenai Quantum Learning Islami dalam menghafal Al-Qur’an pada usia Remaja.
Keproduktifan yang seringkali diasosiasikan dengan masa remaja menjadi point yang cukup diperhitungkan dalam mengembangkan Quantum Learning pada usia ini. Kreatifitas dan daya penyerapan informasi yang sedang maksimal-maksimalnya disertai dengan dukungan kematangan fisik tentu akan menjadikan metode ini lebih tereksplorasi di usia-usia remaja khususnya dalam hal Menghafal Al-Qur’an.
Berdasarkan uraian yang peneliti paparkan mengenai Quantum Learning dalam menghafal Al-Qur’an diusia remaja, maka peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran Penggunaan Metode Quantum Learning dalam Menghafal Al-Qur’an Diusia Remaja.
3.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijabarkan maka rumusan masalah penelitian ini adalah “bagaimana gambaran penggunaan metode quantum learning dalam menghafal Al-Qur’an diusia remaja?”
3.3 .Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran penggunaan metode quantum learning dalam menghafal Al-Qur’an diusia remaja.
3.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang peneliti harapkan adalah memberikan manfaat dan informasi untuk melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya sehingga dapat menambah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Psikologi Kognitif, Psikologi Pendidikan, dan Psikologi Islam. Selain itu juga bertujuan untuk mencoba mengkombinasikan dan mengaplikasikan teori-teori dalam psikologi kognitif ke dalam psikologi pendidikan dan psikologi islam.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan pengembangkan kemampuan untuk menghafal Al-Qur’an, antara lain:
1. Untuk memberikan informasi bagi guru dan siswa di lembaga-lembaga pendidikan khususnya yang berfokus pada hafalan Al-Qur’an seperti pondok pesantren, madrasah, TPA (tempat pendidikan Al-qur’an), dll.
2. Bagi siapapun yang tertarik dengan metode pembelajaran Quantum Learning khususnya dalam hal menghafal Al-Qur’an.
Bila jawaban terhadap penelitian ini mampu menggambarkan penggunaan metode quantum learning dalam menghafal Al-Qur’an diusia remaja maka jawaban ini dapat bermanfaat untuk menjadi inspirasi alternatif metode pembelajaran dalam proses menghafal Al-Qur’an. Bila penelitian ini tidak dapat menggambarkan hal tersebut, maka perlu mencari metode atau indikator lain yang dapat menjelaskan fenomena tersebut.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Menghafal Al-Qur’an
2.1.1 Proses Menghafal dalam Psikologi Kognitif
2.1.2.1 Definisi Memori dan Macam-Macamnya
Menghafal merupakan proses mental yang melibatkan memori. Hal ini karena memori memang merupakan elemen pokok dalam sebagian besar proses kognitif. Memori (Solso, 2008: 158) adalah kapasitas atau batas kemampuan untuk memanggil kembali informasi, kejadian, atau suatu hal dari tempat penyimpanan untuk dipakai dalam situasi saat ini.
Macam-macam memori berdasarkan durasinya diantaranya memori primer / short-term memory (STM) / transitori, memori sekunder / long-term memory / permanen, dan working memory. James (dalam Solso, 2008: 159) berpendapat bahwa memori primer tidak pernah meninggalkan kesadaran dan senantiasa menyediakan “tayangan” peristiwa-peristiwa yang telah dialami. Dalam Chaplin (2006: 463) short term memory didefinisikan sebagain ingatan jangka pendek; ingatan yang berlangsung pendek (secara khas berlangsung selama beberapa detik) dan mempunyai kapasitas terbatas (5-9 item).
Kemudian menurut James (dalam Solso, 2008: 159) memori jangka panjang atau long term memory (LTM) didefinisikan sebagai jalur yang “terpahat” dalam jaringan otak manusia, dan setiap manusia memiliki struktur jalur yang berbeda. Sedangkan defisnisi dari Long term memory menurut Chaplin (2006: 281) adalah ingatan permanen; atau ingatan yang dapat bertahan selama periode yang panjang mungkin sepanjang hayat.
Jenis memori berikutnya adalah working memory yang menurut Beddeley (dalam Solso, 2008: 168) didefinisikan secara konseptual sebagai suatu tipe meja kerja (workbench) yang secara konstan mengubah, mengkombinasikan dan memperbarui informasi baru dan lama. Sedangkan Solso (2006: 284) sendiri mendefinisikan working memory sebagai sejenis memori jangka pendek yang aktif bekerja, yang berisi informasi yang dapat diakses sistem pada saat itu juga, termasuk informasi yang diambil dari memori deklaratif jangka panjang.
Pemusatan perhatian kepada stimuli tertentu di lingkungan tentu akan meningkatkan kecenderungan memori memasuki sistem sensorik dan memasuki STM. Maintenance rehearsal (pengulangan pemeliharaan) akan menjaga informasi tetap di dalam STM, dan elaborative rehearsal (pengulangan elaboratif) mendorong informasi STM ke LTM (Solso, 2006:226).
Proses menghafal Al-Qur’an tentu saja melalui ketiga tahapan durasi memori ini. Setiap ayat membutuhkan waktu untuk pemprosesannya. Mungkin saja diawal kegiatan menghafal akan ada kata-kata atau kalimat dari ayat tersebut yang terlupakan, sulit diingat, atau butuh diulang berkali-kali. Namun pada akhirnya, diharapkan semua memori mengenai ayat yang dihafal mampu memasuki proses long term memory sehingga dapat dilakukan penyimpanan informasi mengenainya dalam waktu yang relatif lebih lama.
Working memory juga akan sangat bekerja dalam proses menghafal Al-Qur’an. Kosa-kata yang sangat banyak dalam bahasa arab dengan perubahan yang relatif minim namun memiliki makna yang berbeda mungkin saja menjadi suatu kesulitan atau sebaliknya bagi para penghafal Al-Qur’an. Untuk itulah pada saat menghafal Al-Qur’an working memory membantu memperbaharui informasi, mengkombinasikan, atau mengubah informasi berupa ayat-ayat tersebut. Dikatakan membantu karena dari kosa kata lama yang mirip dengan kosa kata yang baru akan membantu penghafal untuk mempertahankan ingatannya mengenai kosa kata baru tersebut dengan asosiasi dengan kata yang lama. Begitu juga dengan mengkombinasikan dan mengubah informasi. Hanya saja kemampuan untuk mengubah informasi pada working memory dapat membuat seorang penghafal mengalami keraguan saat mengulangi hafalannya. Karena jika tidak dilakukan pengorganisasian terhadap hafalannya maka mungkin saja kosa kata lama terlupakan dan digantikan oleh kosa kata baru yang mirip. Saat melakukan muraja’ah atau mengulangi kembali hafalan Al-Qur’an, maka working memory akan bekerja untuk mengambil informasi hafalan ayat-ayat Al-Qur’an dari memori deklaratif jangka panjang.
Selain itu juga dikenal bermacam-macam memori berdasarkan isinya, diantaranya adalah memori prosedural, deklaratif, semantik, dan episodik. Pembagian bermacam-macam memori menurut isinya ini adalah gabungan dari pendapat studi neurokognitif, Tulving, Linton, dan Wagenaar.
Memori prosedural dan deklaratif diperkenalkan oleh Studi Neurosains Kognitif. Keduanya memiliki kaitan yang erat dengan proses pada tiga area penting di otak yaitu korteks, serebelum, dan hipokampus. Memori prosedural berkaitan dengan keterampilan motorik seperti menulis, mengetik, dan lainnya. Memori ini tersimpan di serebelum.
Sedangkan memori deklaratif terdiri dari informasi dan pengetahuan mengenai dunia ini, seperti nama saudara, lokasi rumah, makna kata-kata tertentu, dan sejumlah informasi lainnya. Memori ini tersimpan di korteks serebral.
Memori episodik (episodic memory) menurut Tulving (1993: 67 dalam Solso, 2008: 207) adalah “suatu sistem memori neurokognitif yang memungkinkan seseorang mengingat peristiwa-peristiwa pada masa lalunya”. Sedangkan memori semantik Tulving (1993: 217 dalam Solso, 2008: 207-208) adalah sebuah kamus mental, sebuah pengetahuan terorganisasi yang dimiliki seseorang, mengenai kata-kata dan simbol-simbol verbal lainnya, makna dan acuannya; mengenai hubungan antara simbol-simbol verbal tersebut beserta peraturan-peraturan, rumus, dan algoritma yang digunakan dalam pemanipulasian terhadap simbol-simbol, konsep-konsep, dan hubungan-hubungan tersebut. Singkat kata memori semantik adalah memori mengenai kata, konsep, peraturan, dan ide-ide abstrak; memori ini penting bagi penggunaan bahasa.
Proses menghafal Al-Qur’an termasuk kedalam gabungan dari berbagai sistem memori yang dijabarkan di atas. Namun penggabungannya berdasarkan kemampuan, gaya belajar dan kebiasaan dalam menghafal seorang hafizh/ hafizhah (penghafal Al-Qur’an laki-laki atau penghafal Al-Qur’an perempuan). Kegiatan menghafal Al-Qur’an dikatakan menggunakan memori prosedural karena sebagian penghafal Al-Qur’an biasanya melakukan rangkaian adap sebelum membaca atau menghafal Al-Qur’an. Adap dalam membaca Al-Qur’an ini biasanya telah menjadi kebiasaan dan kerapkali harus dilakukan untuk memaksimalkan hasil dari hafalan Al-Qur’an yang akan dilakukan. Hal ini akan diterangkan lebih lanjut pada bagian yang berbeda dari tulisan ini.
Selain itu menghafal Al-Qur’an juga dapat dikatakan menggunakan memori deklaratif. Walaupun tidak semua hafizh dan hafizhah mengetahui arti/ makna dari kata-kata yang mereka hafalkan, namun sebagian besarnya memahami hal ini. Saat menghafal Al-Qur’an, mereka akan ikut mendalami maknanya. Sehingga proses menghafal akan dilakukan dengan bantuan memori deklaratif. Sebagian hafizh dan hafizhah yang lain menghafal letak ayat yang sedang mereka hafalkan di Al-Qur’an. Cara menghafal dengan mengingat tempat ini kemudian dikenal dengan metode Loci. Hal ini akan dijabarkan pada bagian lain dari tulisan ini.
2.1.2.2 Teknik-Teknik Mnemonic
Teknik Mnemonik adalah suatu teknik yang meningkatkan penyimpanan dana pengambilan informasi dalam memori. Dalam mitologi Yunani, Mnemosyne (yang merupakan asal kata mnemonic) adalah ibu dari sembilan imuse (semacam tokoh pujangga dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan). Memori itu dianggap sebagai keterampilan tertua dan induk dari segala keterampilan yang dikagumi. Tanpa memori, kita tidak akan pernah memiliki ilmu pengetahuan, kesenian, maupun logika.
Berbagai teknik dikembangkan dan dirancang untuk meningkatkan penyandian dan memudahkan pengambilan (retrieval), yang kemudian disebut teknik mnemonik. Diantara teknik-teknik mnemonic tersebut adalah :
1. Metode Loci
Metode Loci adalah suatu metode yang akar penggunaanya dapat dilacak hingga Simonides, yang mampu mengingat tempat duduk setiap tamunya dalam pesta yang diselenggarakannya. Metode ini mengasosiasikan objek-objek tertentu dengan tempat-tempat tertentu. Terdapat dukungan empirik terhadap keberhasilan metode loci dalam upaya mengingat jenis-jenis informasi tertentu (Bower, 1970 dalam Solso, 2006: 227).
2. Sistem Kata Bergantung/ Sistem Pasangan Kata
Sistem kata bergantung memiliki sejumlah ragam, namun ide dasarnya adalah seseorang mempelajari serangkaian kata yang berfungsi sebagai “gantungan” untuk “menggantungkan” item-item yang dihafalkan. Salah satu caranya adalah dengan membayangkan interaksi antara kata yang digunakan sebagai penggantung/ pasangan dengan kata yang harus diingat.
3. Metode Kata Kunci
Metode ini biasanya digunakan untuk mempelajari kosakata bahasa asing. Kata asing yang digunakan dicari persamaan yang hampir menyerupai makna dari kata tersebut untuk memudahkan dalam menghafalnya.
4. Skema Organisasional
Pengorganisasian materi yang akan dihafal akan membantu dalam percepatan menghafal. Jika terdapat lima materi yang akan dihafal, maka kelima hal tersebut dikaitkan agar lebih mudah mengingatnya. Kaitan yang dibuat semakin ekstrim akan lebih mudah diingat daripada pengaitan yang biasa.
5. Mengingat Nama
Teknik ini hampir sama dengan teknik kata kunci. Hanya saja teknik ini khusus digunakan untuk mengingat nama. Sebuah nama diasosiasikan dengan kata yang mirip dengannya atau memiliki makna yang sama sehingga memudahkan dalam mengingatnya. Mengingat nama juga bisa dilakukan dengan mengasosiasikan bentuk tubuh atau bagian tertentu dari tubuh seseorang dengan namanya sehingga ditemukan kata yang lebih familiar.
6. Teknik-Teknik Verbal / Mengingat Kata secara Akronim dan Akrostic
Mengingat dengan cara Akromin adalah mengingat kata yang dibentuk berdasarkan huruf-huruf pertama dalam sebuah frase atau kumpulan kata-kata. Sedangkan Akrostik adalah sebuah frase atau kalimat yang di dalamnya huruf-huruf pertama diasosiasikan dengan kata-kata yang harus diingat.
7. Chunking
Teknik chunking adalah teknik pemenggalan atau pengelompokan dari kata-kata yang ingin diingat. Mengubah huruf-huruf menjadi unit-unit kata yang bermakna sehingga lebih mudah untuk diingat.
2.1.2 Al-Qur’an
2.1.2.1 Al-Qur’an sebagai Pedoman Puncak
Bagi umat islam, Al-Qur’an adalah pembimbing menuju kebahagian. Al-Qur’an memberikan prinsip dasar yang dapat dijadikan pegangan untuk mencapai keberhasilan dan kesejahteraan, baik lahir maupun batin. Menurut Ary Ginanjar (2001: 189) ada kalanya manusia tidak dapat memecahkan suatu permasalahan yang pelik namun harus membuat keputusan yang bijaksana. Jika harus menyelesaikannya dengan dorongan suara hati yang begitu beragam, mata batin terkadang bingung dan tak mampu lagi memutuskan mana yang harus didulukan dan mana yang paling benar. Untuk itulah Al-Qur’an diturunkan sebagai pedoman puncak untuk menyelesaikan beragam permasalahan yang berada di luar kemampuan penyelesaian manusia.
Al-Qur’an akan mengatasi hal-hal yang membutuhkan kebijaksanaan tinggi tanpa membebani manusia sebagaimana yang difirmankan di dalamnya : “Hai orang yang beriman, Jadilah kamu penegak keadilan, sebagai saksi bagi Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri, atau orang tuamu, atau kerabatmu, baik ia kaya maupun ia miskin. Allah lebih mengetahui kemaslahatan masing-masing. Jangalah ikuti hawa nafsu, supaya jangan kamu menyimpang (dari kebenaran). Jika kamu memutar balik (kebenaran), atau menyimpang (dari keadilan), sungguh Allah tahu benar apa yang kamu lakukan,” (An-Nisa’: 135).
Menurut penuturan Anisur Rahman (2009: 11), Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab di dunia yang bebas dari kesalahan sebagaimana yang difirmankan di dalamnya, “Kitab Al-Qur’an ini tidak ada keragu-raguan di dalamnya: petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Al-Baqarah : 2). Jika kitab ini ditulis oleh manusia, tentu tidak akan sesumbar mengatakan kesempurnaanya dengan tidak adanya keragu-raguan di dalamnya.
Sehingga saat kebuntuan membuat manusia bingung dalam menyelesaikan permasalahannya, maka Al-Qur’anlah sebagai jawabannya. Begitu sempurnanya kitab suci ini hingga Nurcholish Madjid (2005) mengatakan bahwa Al-Qur’an itu terlalu modern di zamannya, namun relevan untuk semua zaman. Al-Qur’an didesain untuk menjawab kebutuhan umat sepanjang zaman. Sehingga tidak mengherankan melihat relevansinya dengan kehidupan di zaman manapun.
2.1.2.2 Kemukjizatan Al-Qur’an
Bahasa yang digunakan oleh Al-Qur’an disusun dengan indahnya sehingga mengandung nilai sastra yang tinggi. Hal ini membuat sastra Al-Qur’an tidak mampu ditandingi oleh sastra manapun. Bahkan telah banyak orang yang mencoba membuat ayat semisal dengan ayat-Al-Qur’an namun gagal.
Selain keindahan dari bahasanya, isi serta kandungan dari Al-Qur’an juga menjadi mukjizatnya. Banyak peristiwa yang baru terungkap di ribuan bahkan tahun setelah Al-qur’an diturunkan. Fenomena Big Bang yang dikembangkan oleh teori kosmologi disebut terjadi 15 milyar tahun yang lalu. Big bang (Rahman, 2009: 17-19) adalah ledakan hebat yang menyebabkan mekarnya alam semesta. Dalam peristiwa ini didimasukkan semua materi dan energi ruang angkasa. Pada tahap selanjutnya, alam semesta mengalami pemekaran dan menjadi dingin, kemudian meuncullah galaksi, bintang, planet, dan sebagainya. Ternyata peristiwa Big Bang telah tercantum di dalam Al-Qur’an 1400 tahun yang lalu. Nabi Muhammad yang bahkan tidak bisa membaca dan menulis mampu menjelaskan fakta tersebut. Fakta dimana saat itu orang-orang belum mampu membayangkan bahwa dahulunya langit dan bumi itu bersatu.
Kutipan isi Al-qur’an yang menggambarkan peristiwa Big Bang khususnya Red Rose disaat Big Bang. “Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak”, (Ar-Rahman : 37).
2.1.3 Karakteristik Sukses dalam Menghafal Al-Qur’an
Kesuksesan dalam menghafal Al-Qur’an di antaranya dapat dilihat dari :
1. Al-Fahmu Ad-Daqiq (pemahaman yang rinci)
Semakin rinci pemahaman seorang hafizh/ hafizhah mengenai Al-Qur’an maka akan dapat dikatakan semakin sukseslah proses penghafalan Al-Qur’an yang mereka lakukan. Menghafal dengan rinci memang membutuhkan kejelian yang tinggi. Namun, kesuksesan dalam menghafal Al-Qur’an ternyata juga dinilai dari hal ini. Sebagaimana pentingnya pemahaman yang terperinci dari seorang guru matematika dalam menerangkan, menyebutkan, dan memaparkan perbedaan dari setiap simbol matematik yang akan diajarkan kepada anak didiknya, maka seperti itu pulalah pentingnya pemahanan yang rinci mengenai Al-Qur’an. Kedalaman sastra di dalamnya membuat kata-kata di dalam Al-Qur’an mampu bentuk satu kata menjadi ribuan turunan kosa kata yang relatif mirip namun memiliki makna yang berbeda. Jika pemahaman seorang hafizh dan hafizhah tidak rinci, maka akan banyak kata-kata yang tertukar atau salah dalam menghafalnya.
2. Al-Fahmu Al-Amiq (pemahaman yang mendalam)
Seiring dengan pemahaman yang rinci, maka pehaman yang mendalam dari makna kata dan ayat-ayat Al-Qur’an juga menjadi tolak ukur keberhasilan dalam menghafalnya. Banyak orang yang pada awal mencoba untuk menghafal Al-Qur’an tanpa memahami kandungan yang ada di dalamnya. Mereka memang berhasil dalam menghafalnya, namun kejernihan dan kemukjizat Al-Qur’an tidak akan sempurna membias dalam tindakannya.
Al-Qur’an yang relevan dengan setiap zaman harus dipahami dan diinterpretasikan dengan benar dan mendalam. Kata-kata pilihan yang digunakan di dalamnya mampu menjawab berbagai problema umat manusia di semapnjang zaman. Namun, harus ada orang yang mampu untuk memahaminya secara mendalam. Para hafizh dan hafizhah yang juga mampu memahami Al-Qur’an tentu akan lebih jeli mengaplikasikan cahaya Al-Qur’an dalam kehidupan.
3. Al-Ittishal Al-Watsiq (hubungan yang kokoh)
Hubungan yang kokoh dengan Al-Qur’an dapat dilihat dari cerminan Al-Qur’an dalam kesehariannya. Orang yang telah memahami Al-Qur’an dan kokoh memegang nilai-nilai di dalamnya tentu akan lebih tenang dalam menjalani kehidupan. Karena “buku manual panduan” kehidupan manusia telah mereka kuasai. Kekokohan bagi hafizh dan hafizhah dengan Al-Qur’an digambarkan dengan lekatnya hafalan mereka dalam waktu yang relatif lama dengan Al-Qur’an. Banyak orang yang telah membuktikan bahwa Cristyllize Intelligence dapat ditingkatkan lewat kebiasaan menghafal Al-Qur’an.
4. Al-Hubb Al-Kamil (cinta yang sempurna)
Kecintaan yang sempurna kepada Al-Qur’an maupun kepada Zat yang menjadikannya ada, Allah SWT, adalah puncak dari sebuah proses menghafal Al-Qur’an itu sendiri. Jika pemahanan telah mendalam dan Al-Qur’an tercermin dalam setiap aspek kehidupan, maka tidak dapat dipungkiri, cintalah yang berperan di dalamnya.
5. Al-Amal Al-Mutawashil (amal yang berkesinambungan)
Sebagaimana perlunya kedalaman dalam memahami Al-Qur’an dan terperincinya pemahaman tersebut, amalan qur’ani juga harus dilakukan bersinambungan. Yang dimaksudkan dengan amalan qur’ani adalah beramal sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an. Proses berkesinambungan dalam beramal berakar dari berkesinambungannya penghafalan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sehingga amalan akan semakin berlandaskan kepada pedoman puncak yang benar-benar relevan.
2.1.4 Keutamaan Menghafal Al-Qur’an
Banyak hadis nabi yang mendorong untuk menghafal Al-Qur’an. Bahkan meningkatkan crystallize inteligency dengan menghafal Al-Qur’an akan sangat membantu mengurangi bahkan menghilangkan kepikunan di masa tua. Diantara keutamaan menghafal Al-Qur’an adalah :
1. Menghindarkan seorang Muslim dari kekosongan hati. Ibn Mas’ud berkata, “Rumah yang paling kosong dan lengang adalah rumah yang tidak mengandung sedikitpun bagian dari kitab Allah SWT”. Dalam hadist nabi juga dikatakan “Orang yang tidak mempunyai hapalan Al Quran sedikitpun adalah seperti rumah kumuh yang mauh runtuh “, HR Tirmidzi dari Ibnu Abbas (2914).
2. Mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan orang lain dimata agama. Bahkan Rasulullah SAW memberikan penghormatan kepada para penghafal Al-Qur’an tersebut.
3. Rasulullah juga mendahulu mengurus jenazah orang-orang yang menghafal Al-Qur’an dibandingkan yang lain. Hal ini terjadi pada peristiwa perang uhud, saat banyaknya sahabat yang meninggal di medan peperangan. Nabi Muhammad SAW lebih mendahulukan untuk mengurus para syuhada yang hafalan Al-Qur’annya lebih banyak dan bagus.
4. Akan mendapat syafaat dari Al-Qur’an di hari akhir. “Penghapal Al Quran akan datang pada hari kiamat, kemudian Al Quran akan berkata: Wahai Tuhanku, bebaskanlah dia, kemudian orang itu dipakaikan mahkota karamah (kehormatan), Al Quran kembali meminta: Wahai Tuhanku tambahkanlah, maka orang itu dipakaikan jubah karamah. Kemudian Al Quran memohon lagi: Wahai Tuhanku, ridhailah dia, maka Allah SWT meridhainya. Dan diperintahkan kepada orang itu: bacalah dan teruslah naiki (derajat-derajat surga), dan Allah SWT menambahkan dari setiap ayat yang dibacanya tambahan ni`mat dan kebaikan “
5. Kedua orang tua dari penghafal Al-Qur’an akan mendapatkan jubah dari cahaya di hari akhir nanti yang jubahnya ini tidak akan pernah didapatkan di dunia. Hal ini karena orang tua berjasa dalam membimbing anaknya untuk mempelajari dan menghafal Al-qur’an sejak kecil.
2.2 Masa Remaja
2.2.1 Pengantar Masa Remaja
Masa remaja sering kali dianggap sebagai masa kebingungan. Banyak perubahan yang secara cepat terjadi di masa ini. Berbagai perubahan secara fisik yang berkaitan dengan hormonal dan seksualitas kemudian dijadikan tolak ukuran bagi seorang manusia untuk dijatuhi hukum agama kepadanya dalam ajaran agama islam. Baik buruknya perilaku seseorang dihitung sejak ia menginjak usia ini. bahkan usia remaja yang diistilahkan dalam islam sebagai masa muda mendapat porsi pertanyaan yang cukup serius untuk dipertanggung jawabkan di akhir zaman nantinya. Masa musa ditanyakan secara khusus pada akhir zaman nanti oleh Allah SWT kepada manusia.
Pemposisian masa muda atau remaja secara khusus oleh Allah SWT dalam pertanyaanya di hari akhir tersebut bukan tanpa makna. Sebagaimana teori tahap perkembangan kognitif yang disampaikan oleh Piaget (dalam Santrock, 2002: 10) dalam tahapan perkembangan kognitif formal operational, maka terlihatlah bahwa pemikiran remaja semakin abstrak, logis dan idealis. Kematangan dalam proses berfikir ini juga dibarengi dengan maksimalnya kemampuan fisik pada remaja. Sehingga memungkinkan remaja untuk memaksimalnya semua kegiatan yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Kelebihan yang Allah SWT berikan pada masa remaja atau muda ini tentu juga tidak salah jika mendapatkan porsi perhatian yang lebih besar untuk dipertanggung jawabkan kelak. Alangkah lebih baik jika pada masa ini dapat diisi dengan kegiatan yang bermanfaat sekaligus bernilai positif dan mendapat redha di sisi-Nya. Sebagaimana kegiatan yang penulis bahas dalam tulisan ini, yaitu menghafal Al-Qur’an.
2.2.2 Perkembangan Kognitif pada Masa Remaja
Menurut Erikson, masa remaja berkisar antara usia 11-20 tahun. Jika dikaitkan dengan teori perkembangan kognitif menurut Piaget, maka ada usia ini berkembang pemikiran formal operasional.
Pemikiran operational formal lebih abstrak daripada pemikiran anak-anak. Remaja tidak lagi terbatas pada pengalaman konkritnya sebagaimana ditahapan perkembangan kognitif sebelumnya. Sehingga akan lebih memudahkan dalam proses penghafalan Al-Qur’an yang berbahasa Arab dan masih banyak makna dan kandungan di dalamnya yang mungkin baru bisa dibuktikan dengan kecanggihan teknologi beribu-ribu tahun di masa depan.
Selain itu, remaja juga mulai berfikir secara idealis. Remaja menciptakan nilai-nilai ideal yang menurut mereka penting. Remaja mulai membandingkan diri mereka dengan orang lain. Mereka juga memikirkan ciri-ciri ideal bagi mereka dan orang lain.
Seiring dengan berkembangnya cara berfikir abstrak dan idealis, berkembang pula kelogisan dalam berfikir remaja sebagaimana pendapat Kuhn (1991 dalam Santrock, 2002 : 10) . Jika semua tabir yang tersimpan dibalik makna ayat-ayat Al-Qur’an telah tersingkap, maka akan terlihat relevansi yang logis antara kehidupan nyata dengan suratan di dalam Al-Qur’an. Sebagaimana seperangkat handphone yang dijual dengan buku panduan penggunaan dan perawatannya. Maka kehidupan manusia dan semesta alam juga telah Allah buatkan panduannya yaitu Al-Qur’an. Tentu tidak logis jika membuat handphone dan memasarkannya tanpa buku panduan. Begitu juga kehidupan manusia.
Buku panduan kehidupan manusia ini tentu akan lebih maksimal penghafalan dan penggalian maknanya jika dilakukan pada usia remaja. Bukan berarti menutup kemungkinan untuk menghafal Al-Qur’an di usia yang lebih dini atau baru mulai menghafalnya diusia senja. Terbukti dengan banyaknya anak-anak diusia dininya yang juga mampu menghafal Al-Qur’an dengan rinci seperti Imam Syafi’i dan Muhammad Husain Ath Thababai. Namun melihat dukungan yang Allah SWT berikan pada masa remaja baik dari segi kognitif, maupun fisik, maka tentu akan lebih maksimal hasilnya.
Namun tahap perkembangan pemikiran Piagetian ini dipengaruhi pula oleh kebudayaan yang berkembang di daerah masing-masing. Beberapa gagasan piaget tentang pemikiran formal operasional pada penerapannya memiliki keragaman yang lebih besar. Ternyata lebih banyak variasi pemikiran individual pada pemikiran operasional formal dibandingkan yang dibayangkan oleh Piaget.
Perubahan mengagumkan lainnya dapat dilihat dalam kognisi sosial (Santrock, 2002: 15) pada remaja. Remaja mulai berfikir tentang kepribadian sama seperti cara yang dilakukan oleh ahli teori kepribadian, dan mereka memantau dunia sosial mereka dengan cara-cara yang lebih canggih.
Selain itu pada masa ini juga berkembang peningkatan dalam pengambilan keputusan. Memang kemapuan dalam pengambilan keputusan tidak begitu menjamin kemampuan tersebut diterapkan dalam kehidupan. Luasnya pengalaman menjadi penting sebagai perangsang diterapkannya kemampuan pengambilan keputusan ini. Remaja memerlukan lebih banyak ruang untuk mempraktekkan dan mendiskusikan keputusan yang realistis.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan untuk pengambilan keputusan, pada saat remaja juga dikenal periode individuasi (Hasan, 2008: 139) dimana remaja mengembangkan identitas diri mereka dan membentuk pendapat sendiri yang mungkin saja bertentangan dengan pendapat orang tuanya. Remaja mulai mengalami deidealisasi dengan orang tua; remaja menyadari bahwa orang tua mereka tidak selalu benar. Namun pertentangan dan konflik ini tidak akan sampai merusak hubungan orang tua dan anak. Hal ini dianggap wajar sebagai bagian dari perkembangan kognitif remaja.
Salah satu contoh pengambilan keputusan dan konflik yang berkembang pada masa remaja sesuai dengan tulisan ini adalah keputusan untuk mulai menghafal Al-Qur’an dan memahami kandungannya. Memang banyak remaja yang memikili kemampuan yang menakjubkan dalam mengembangkan dirinya. Namun tidak banyak dari mereka yang berhasil memutuskan untuk menghafal Al-Qur’an dan menekuninya dengan sangat. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari peranan budaya dan keterpilihan jiwa dalam menghafal Al-Qur’an. Terkadang orang tua telah mengarahkan anak mereka untuk mencoba menghafal Al-Qur’an, namun anak pada masa ini mulai memiliki cara berfikir sendiri. Untuk itulah pentingnya kecakapan orang tua dalam mendidik dan mengarahkan anak-anaknya bahkan dimasa-masa tersulit sekalipun. Anak dengan orang tua yang tidak mendukungnya anak untuk menghafal Al-Qur’an bukan tidak mungkin mampu untuk menghafalnya. Karena keputusan kini ada di tangan anak tersebut. Seiring dengan itu, Al-Qur’an memang dipilihkan penjaga dan pemeliharanya oleh Allah SWT. Orang-orang yang mampu menghafal Al-qur’an adalah benar-benar orang yang terpilih. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan (Al-Qur’an) dan Kami benar-benar memeliharanya”, (Al-Hijr: 9).
2.3 Quantum Learning
2.3.1 Definisi Quantum Learning
Porter dan Hernacki adalah dua orang pertama kali memperkenalkan metode Quantum Learning dalam buku mereka berjudul “Quantum Learning: Unleashing the Genius in You”. Quantum Learning (Porter dan Hernacki, 2001: 15-16) adalah seperangkat metode dan falsafah belajar yang terbukti efektif untuk semua umur melalui interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya.
Dalam fisika kuantum dikenal persamaan E = mc2 (masa dikali kecepatan cahaya kuadrat sama dengan energi). Semua kehidupan adalah energi. Sedangkan tubuh kita secara fisik adalah materi. Sebagai insan pembelajar, tujuan kita adalah merain sebanyak mungkin cayaha; interaksi, hubungan, inspirasi agar menghasilkan energi cahaya.
Quantum Learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar, dan NLP dengan teori keyakinan, dan metode yang dikembangkan oleh Porter dan Hernacki. Yang termasuk di dalamnya adalah teori otak kiri dan otak kanan, teori otak triune, pilihan modalitas (gaya belajar visual, auditoris, atau kinestetik), teori kecerdasan ganda, pendidikan holistik (menyeluruh), belajar berdasarkan pengalaman, belajar dengan simbol, dan simulasi/ permainan.
Otak mempunyai tiga bagian dasar (Porter dan Hernacki, 2001: 27-29 dan 37), yang seluruhnya dikenal dengan “otak triune(three in one)” yang terdiri dari Neokorteks, mamalia (sistem limbik) dan reptilia. Masing-masing bagian dari otak bertanggung jawab atas fungsi yang berbeda-beda. Begitu pula dengan sel saraf. Otak mempunyai jutaan sel saraf yang disebut neuron, yang mampu berinteraksi dengan sel-sel lain di sepanjang cabang yang kemudian disebut dendrit. Melalui pengulangan berkala, sel-sel saraf menjadi terhubung dan tereliminasi untuk memudahkan dalam mengingat informasi. Tanpa proses ini, mielin akan hilang.
Masing-masing dari belahan otak mempunya pengkhususan diri pada kemampuan-kemampuan tertentu. Otak kiri bersifat Logis, Sekuensial, Linear, dan Raional. Sedangkan otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Namun metode Quantum Learning yang ditawarkan oleh Porter dan Hernacki lebih menitik beratkan kepada intuisi sebagai kecerdasan tertinggi.
Sementara itu menurut Bergson, yang disitir oleh Iqbal (1981:3 dalam Mujib, 2009: 3), bahwa intuisi dipandang sebagai jenis intelektual yang tinggi. Intuisi adalah kemampuan untuk menerima atau menyadari informasi yang tidak dapat diterima oleh kelima indra. Keberadaan intuisi tidak bertentangan dengan pikiran rasional, justru ia didasarkan kepada pemikiran rasional yang tinggi.
Menurut Abdul Mujib (2009:3), usaha mempertajam intuisi dapat dilaukan dengan latihan dan pembiasaan kontemplasi secara mendalam, meskipun kehadirannya diluar rencana dan kontrol manusia itu sendiri. Dalam wacana psikologi kontemporer, intusi bersifat antroposentris yang bermakna berasal dari dalam diri manusia itu sendiri.
Adapun manfaat dari belajar dengan metode Quantum Learning menurut DePoters dan Hernacki (2001:13) adalah :
1. Mengembangkan sikap yang positif
2. Memotivasi individu pembelajarnya
3. Mengembangkan keterampilan belajar seumur hidup
4. Membangkitkan kepercayaan diri
5. Mendekatkan kesuksessan
2.3.2 Metode Belajar dengan Quantum Learning
Metode quantum Learning adalah sinergisitas antara nilai-nilai dan keyakinan yang dipegang oleh seseorang. Nilai-nilai dan keyakinan ini diterapkan dalam sebuah lingkungan. Namun pada awalnya nilai-nilai ini tentu memiliki sumber. Sumber-sumber dari nilai dak keyakinan bisa dari interaksi, belajar untuk mempelajari keterampilan, dan metode. Interaksi yang dimaksud adalah perkembangan dari pengetahuan, pengalaman, hubungan, dan inspirasi. Sedangkan belajar untuk mempelajari keterampilan bisa berupa keterampilan dalam menghafal, membaca, menulis, mencatat, kreativitas, cara belajar, komunikasi, dan berhubungan dengan orang lain. Keterampilan ini dikembangkan dengan metode berupa mencontoh, permainan, simulasi, atau simbol. Demikianlah bentuk penerapan metode belajar dengan Quantum Learning.
Lingkungan yang diharapkan sebagai penerapan dari nilai-nilai dan keyakinan dalam pembelajaran secara Quantum Learning ini adalah lingkungan yang positif, aman, mendukung, penjelajahan (eksploratory), dan menggembirakan dengan suasana yang sesuai dengan pribadi masing-masing orang yang menggunakan metode Quantum Learning ini.
2.3.3 Islam dan Quantum Learning
Psikologi islam memang baru berkembang akhir-akhir ini dalam kancang psikologi di Indonesia. Banyak kelompok studi dan keilmuan yang membahas dan mencoba menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan ini lewat pendekatan psikologi islam. Begitu pula dengan mencoba mengembangkan metode Quantum Learning yang islami.
Pandangan psikologi islam mengenai metode pembelajaran Quantum Learning yang ditawarkan oleh DePoters dan Hernacki belumlah sempurna(Mujib, 2009:3). Ciri utama dari pembelajaran secara quantum adalah pembelajaran secara lompat (leap). Artinya, seseorang tanpa melalui proses belajar mengajar secara manual, namun ia mampu menerima, memahami dan mencerna informasi atau pengetahuan yang diinginkan atau dibutuhkan.
Psikologi islam meyakini adanya metode yang benar-benar bermuatan quantum dimana seseorang tiba-tiba mendapatkan informasi atau pengetahuan dari dunia eksternal dengan penajaman intuisi. Sebenarnya dalam khasanah islam tidak ditemukan term al-hads (intuisi), namun menurut Prof. DR. Abdul Mujib (2009:3), terdapat term yang semisal yang muatan substansinya mirip dengan intuisi namun memiliki spesifikasi yang lebih khusus. Al-Qusyairi menggunakan term al-khawatir, al-warid, al-bawadih, dan al-hujum untuk menjelaskan sesuatu yang diterima begitu saja oleh manusia.
2.3.4 Struktur Kejiwaan dan Quantum Learning Islami
Struktur kejiwaan yang digunakan oleh para nabi dalam menerima wahyu dari Allah SWT adalah intuisi qalbu yang suci (quds). Bahkan secara fisik Nabi Muhammad pernah dibedah hatinya dan bersihkan dengan air zam-zam.
Namun kebanyakan psikolog dan falsafi menggunakan jiwa rasional dalam menerima ilham. Menurut Ibnu Sina --dalam Nasution (1995:39) dalam Mujib, 2002: 288-289)—ketika rasional telah mencapai puncaknya, yang disebut dengan akal mustafad (aquired intellect), maka manusia memperoleh kekuatan nalar dan pengetahuan yang luar biasa. Kekuatan ini yang kemudian disebut dengan intuisi.
Perolehan ilmu menurut Prof. DR. Abdul Mujib (2002: 283 dan 289) juga dapat dicapai melalui pemberian rahmat yang bersifat ilahiyah. Artinya ilmu tidak hanya dapat dicapai melalui proses belajar mengajar, tetapi juga terkadang tiba-tiba dimiliki oleh manusia setelah ia mendapatkan rahmat dari Allah SWT. Sifat rahmah adalah inti dari dari kelembutan hati manusia, yang karenanya seseorang mampu menangkap hakikat dan rahasia kehidupan, sehingga ia memperoleh ilmu secara tiba-tiba. Sifat seperti ini adalah anugrah yang Allah berikan kepada orang-orang tertentu seperti Nabi Khidir sehingga ia memiliki ilmu yang disebut Ilmu Ladunni.
Untuk memperoleh ilmu ladunni, para sufi berusaha untuk menajamkan kalbu melalui penempaan spiritual (suluk ruhani) seperti dengan meninggalkan maksiat dan melakukan zikir, do’a, wirid, puasa, dan shalat. Kemaksiatan adalah hijab yang akan menghalangi rahasia-rahasia ketuhanan dengan manusia. Selain meninggalkan maksiat, para sufistik menerangi hati mereka dengan zikir, do’a dan wirid. Melalui upaya itu, daya intusisinya menguat karena cahaya kalbunya mampu menembus hijab, sehingga memperoleh cahaya ilmu.
Penguatan rasional diperoleh dari kegiatan berfikir sedangkan penguatan intuisi diperoleh dari kegiatan berzikir. Untuk mencapai kesuksesan dibutuhkan pembelajaran yang tiada henti-hentinya namun bukan berarti harus meninggalkan shalat dan ibadah lainnya.
Dalam menghafal Al-Qur’an, berfikir dan berzikir dilakukan bersamaan. Selain meningkatkan kegiatan berfikir juga terjadi penajaman intuisi. Ini adalah salah satu bukti bahwa sebenarnya tidak perlu adanya pemisahan antara “madrasah fikir dan zikir”. Bahkan gabungan dari keduanya mampu mewujudkan bentuk kecerdasan yang lebih mencengangkan dan melejitkan potensi manusia.
2.3.5 Prosedur Quantum Learning Islami
Para pembelajar dan pencari ilmu pada akhirnya menginginkan sebanyak mungkin cahaya, interaksi, hubungan, inspirasi agar menghasilkan energi cahaya sebagaimana pendapat DePorter dan Hernacki, 2001: 16). Ilmu merupakan akumulasi dari cahaya-cahaya suci Allah SWT yang perlu diketahui dan diamalkan dalam kehidupan. Dengan mengetahui dan mengamalkannya, seseorang akan emmperoleh keyakinan dan menemukan kebenaran yang hakiki. Perwujudan dari pencarian ilmu itu adalah menghafal, mendalami, dan memahami Al-Qur’an.
Sumber cahaya itu sendiri adalah Tuhan, sebab Dia adalah Nur ‘ala al-nur (cahaya diatas cahaya). Menurut Al-Suhrawardi (dalam Mujib: 2009: 9), cahaya Tuhan disebut dengan cahaya kaya yang tidak membutuhkan sesuatu, sedang cahaya yang ada dalam jiwa manusia disebut dengan cahaya faqir (miskin, membutuhkan sesuatu). Dengan proses emanasi (al-faidh) maka cahaya Tuhan dapat dimasukkan kepada jiwa manusia, sehingga manusia mampu mengetahui cahaya pengetahuan.
Menurut Al-Ghazali (tt:17 dalam Mujib: 2009: 9), qalbu itu ibarat cermin, sementara ilmu merupakan pantulan gambar realistisnya. Apabila cermin kotor maka pantulannya tidak jelas dan suram. Hawa nafsu membuat cermin kotor, sedangkan ketakwaan, ketaatan, dan berpaling dari hawa nafsu membuat cermin qalbu bersih dan cemerlang. Tazkiyah al-nafs merupakan salah satu metode untuk mengembalikan jati diri seseorang kepada fitrah asalnya, yakni suci dan bersih. Tazkiyah al-nafs juga dapat ditempuh dengan menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya. Selain itu juga meninggalkan yang syubhat (tidak jelas baik-buruk dan halal haramnya).
Puncak pengetahuan yang dicapai dengan limpahan nur (cahaya) ini adalah pengetahuan tentang keimanan dan ma’rifat kepada Allah SWT. Hal itu mengandung arti bahwa pengetahuan yang didapat intuisi manusia tidak sekadar rasional,tetapi lebih merupakan pengetahuan meta-rasional.
Jika para hafizh dan hafizhah menajamkan intuisi dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai Al-Qur’an tidak hanya sekedar dengan rasional namun juga pengetahuan meta-rasional maka tidak mustahil akan memunculkan Generasi Qurani (generasi Al-Qur’an) yang mencerminkan Al-Qur’an dalam kesehariannya. Apalagi digunakan metode pembelajaran Quantum Learning Islami yang mampu melejitkan potensi baik jasad maupun jiwa.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini akan dibahas mengenai metode penelitian yang akan digunakan, meliputi desain penelitian, identifikasi variabel penelitian, subjek penelitian, alat ukur penelitian serta metode analisis dan pengolahan data.
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat gambaran penggunaan metode Quantum Learning dalam menghafal Al-Qur’an diusia remaja. Maka penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif juga penelitian yang dilakukan untuk menjelaskan atau menggambarkan variabel masa lalu dan sekarang berdasarkan data-data (Arikunto, 1997). Untuk itu digunakan metode eksperimen dalam penelitian ini agar dapat mendeskripsikan penggunaan metode quantum learning dalam menghafal Al-Qur’an diusia remaja.
Percobaan ini membutuhkan 2 kelompok responden. 1 kelompok akan menggunakan metode menghafal Al-Qur’an manual atau yang biasa digunakan. Sedangkan kelompok yang akan diajarkan dengan menggunakan metode menghafal Al-qur’an dengan Quantum Learning.
3.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah pernyataan dengan tentang hubungan antara dua variabel atau lebih (Kerlinger, 2004). Adapun hipotesis dalam penelitian ini, yaitu:
a. Ho : Tidak ada perbedaan antara pada skor hafalan responden sebelum dan setelah dipengunaan metode Quantum Learning dalam menghafal Al-Qur’an diusia remaja .
b. Ha : Terdapat perbedaan antara pada skor hafalan responden sebelum dan setelah dipengunaan metode Quantum Learning dalam menghafal Al-Qur’an diusia remaja.
3.3 Variabel Penelitian
Adapun variabel dari penelitian ini adalah gambaran penggunaan metode Quantum Learning dalam menghafal Al-Qur’an diusia remaja.
3.4 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu variabel atau konstrak dengan cara memberi arti, atau menspesifikasikan kegiatan, ataupun memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur konstrak atau variabel tersebut. Definisi operasional yang diukur memberikan gambaran bagaimana variabel tersebut diukur (Nazir, 1999 dalam Anandari, 2008).
Adapun definisi operasional variabel dalam penelitian ini (penggunaan Quantum Learning dalam menghafal Al-Qur’an pada usia remaja) adalah menggunakan seperangkat metode dan falsafah belajar yang terbukti efektif untuk semua umur melalui interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya lewat penajaman intuisi dalam proses menghafal Al-Qur’an diusia remaja.
3.5 Responden Penelitian
3.5.1 Karakteristik Responden Penelitian
1. Siswa yang baru mengikuti program menghafal Al-Qur’an
2. Siswa berusia 11-20 tahun
3.5.2 Teknik Pengambilan Sample
Pemilihan sample atau responden dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik Incidental Purposive Non-Probability Sampling. Teknik ini disebut juga dengan teknik kebetulan. Anggota sample adalah apa atau siapa saja yang kebetulan dijumpai peneliti saat mengadakan penelitian, asalkan ada hubungannya dengan tema penelitian. Dengan demikian, responden atau subjek diperoleh karena mudah didapat atau kebetulan ada berdasarkan karakteristik atau kriteria yang sudah ditetapkan (Winarsunu, 2007).
Adapun kelemahan dari penggunaan teknik sampling ini adalah hasil penelitian tidak dapat digeneralisasikan kepada populasi dengan kriteria berbeda (Kerlinger, 2000 dalam Anandari, 2008).
3.5.3 Jumlah Responden
Dalam penelitian ini responden yang digunakan berjumlah 30 orang yang merupakan siswa penghafal Al-Qur’an awal yang berusia berkisar antara 11-20 tahun. Responden berjumlah 30 orang atau lebih sehingga dapat dibagi kedalam 2 kelompok eksperimen.
3.6 Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan teknik wawancara sebelum dan setelah eksperimen dilakukan serta observasi saat kegiatan menghafal Al-qur’an berlangsung. Dalam wawancara ini pertanyaan yang digunakan adalah pertanyaan tertutup dan terbuka. Pendekatan yang digunakan dalam wawancara ini adalah pendekatan langsung (directive approach). Ada macam-macam wawancara, ada yang face to face, finger to finger, ear to ear. Dalam wawancara ini interviewee dan interviewer melakukan wawancara secara face to face. Sedangkan pada observasi yang akan dilihat adalah sikap responden dan implikasi penggunaan metode Quantum Learning pada hafalan Al-Qur’annya.
3.7 Guideline Wawancara
Opening :
Perkenalan singkat dengan responden yang akan diwawancara.
Body:
Interviewer menanyakan tentang:
1. Jumlah hafalan responden (sebelum/setelah eksperimen untuk kelompok yang tidak mendapatkan treatment dan sebelum/ setelah mendapatkan pembelajaran hafalan Al-qur’an dengan metode Quantum Learning bagi kelompok yang mendapat treatment).
2. Pengaruh metode Quantum Learning bagi penghafal (khusus kelompok yang diberikan treatment)
Closing:
Berpamitan, bersalaman dengan interviewee serta dalam kalimat penutup interviewer berharap bisa berkomunikasi lebih dalam lagi di lain kesempatan dan diakhiri dengan foto bersama.
Wawancara dilakukan beberapa kali selama eksperimen berlansung dengan selang waktu 1 minggu.
3.8 Guideline Observasi
Teknik perekaman informasi dari observasi ini menggunakan anecdocal record. Dalam hal ini peneliti akan membentuk tim observer guna mengamati tingkah laku observee dalam pemberian materi mengenai menghafal Al-Qur’an dengan Quantum Learning. Selain itu peneliti juga akan menggunakan bantuan video recorder untuk merekam kejadian yang berlangsung di dalam ruang pemberian materi. Untuk kelompok yang tidak diberikan treatment, peneliti tidak melakukan observasi.
3.9 Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan di Pesantren Al-Qur’an El- Tahfizh Bogor dalam waktu 1 bulan. Perminggunya dilakukan wawancara kepada setiap responden untuk melihat progress dari hafalan mereka baik yang mendapat treatment maupun yang tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Chaplin, JP. 2006. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ginanjar, Ary. 2008. ESQ Emosional Spiritual Quotient. Jakarta: Arga Publishing.
Haqani, Luqman. 2004. Karena Kamu Sudah Dewasa. Bandung: Pustaka Ulumuddin.
Hasan, Aliah B.P. 2008. Psikologi Perkembangan Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Izzuddin, Solikhin Abu. 2006. Tarbiyah Dzatiyah. Solo: Bina Insani.
Madjid, Nurcholish. 2005. Islam doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Mujib, Abdul. 2002. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: Grafindo Persada.
Porters, Bobbi dan Mike Hernacki. 2001. Quantum Learning. Bandung: Kaifa.
Rahman, Anisur. 2009. Einstein Aja Baca Qur’an. Yogjakarta: Mitra Setia.
Santrock, John W. 2002. Life span Development jilid 1 dan jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Solso, Robert, dkk. 2008. Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga.
Jurnal :
Mujib, Abdul. 2009. Menelusuri Kearifan Psikologi Timur dengan Menjadikan Quantum Learning Islami sebagai Ilustrainya(Inquiry jurnal ilmiah psikologi paramadina vol 2 no 1). Jakarta: Paramadina.
http://psikologiislam-riniariani.blogspot.com/2010/05/gambaran-penggunaan-metode-quantum.html
No comments:
Post a Comment